Hati-hati mengucapkan kata. Meski katanya sama tapi bisa bermakna sebaliknya. Apalagi jika yang mengucapkan adalah politisi nasional. Bisa-bisa terjerumus ke meja hijau.
Penjelasan permainan kata ini dilontarkan oleh ahli bahasa, Rocky Gerung dalam sidang di PN Jakarta Pusat. Saat itu, dia ditunjukan sebuah tulisan besar, 'Kambing' oleh kuasa hukum penggugat, Gatot.
"Kata itu menunjukkan konsep binatang," kata Rocky di depan Ketua Majelis Hakim, Pramodana Kusumah Atmadja di PN Jakpus, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Senin, (8/8/2011).
Lalu, berturut- turut Gatot menunjukan kata 'Arab' dan 'Cina'. Menurut Rocky, kata tersebut menunjukkan konsep etnis di dunia. Namun, ketika Gatot menunjukan kata 'PKI', Rocky langsung mempunyai jawaban sendiri.
"PKI tidak ada dalam kata kosakata internasional, dia punya maksud tertentu," jawab Rocky.
Lantas, Gatot melontarkan pertanyaan, bagimana jika kata ' Kambing' ditambah dengan kata 'Kau' sehingga menjadi, 'Kambing kau!'. Maka, kata kambing tersebut menjadi bermakna negatif.
"Kata itu menjadi negatif kalau dalam pikiran orang ada maksud mengeksploitasi pemikiran publik," terang Rocky.
Lantas dari kata 'Kambing', kuasa hukum beralih ke konteks kata PKI. Menurut Rocky, pengucapan kata PKI bisa bermakna destruktif sehingga akan menghasilkan kata yang negatif. Apalagi yang mengucapkan adalah Ruhut Sitompul yang juga anggota DPR, terdapat kata Soeharto yang juga mantan Presiden dan kata PKI yang berarti Partai Komunis Indonesia.
"Ada kepentingan pengucapan dengan upaya untuk menghalangi kepentingan publik yang menentang pemberian gelar kepada almarhum Presiden Soeharto. Sejauh kata untuk argumentatif, tidak masalah. Tapi kalau indikatif, itu menjadi problem," terang Rocky.
Menurut Rocky, PKI adalah lambang komunis yang juga lambang atheis sekaligus kriminal. Dalam konteks omongan Ruhut, dia sengaja tidak menyebutkan identitas langsung yang dimaksud. Hanya mengucapkan' anak- anak PKI'.
"Ada strategi untuk menyembunyikan kata yaitu untuk mengungkap memori kolektif. Kata 'hanya kumpulan anak PKI', tapi itu diucapkan ke publik. Maka menjadi diskursus. Diskursus tidak perlu menunjukkan maksud kalimat karena itu diumpankan untuk memperoleh umpan balik," tandas Rocky.
Adapun saksi ahli lainnya, Ikras Nusa Bhakti berbicara etika politik dan sikap politikus. Menurut Ikrar Nusa Bakti, Ruhut Sitompul, selaku anggota DPR tidak etis mengeluarkan pernyataan yang menuding pihak-pihak yang tak menyetujui almarhum Soeharto mendapatkan gelar pahlawan, merupakan anak dari anggota PKI.
"Itu mengandung hal bukan hanya penghinaan tapi ini cara aparat keamanan Orde Baru untuk meniadakan kritik terhadap Pemerintah dan kebijakan yang dikeluarkannya," ujar Ikrar dalam persidangan.
Menurutnya etika harus dijunjung tinggi bagi seorang pejabat publik, bila tidak maka sanksi layak dijatuhkan kepadanya, tak hanya sanksi sosial, juga sanksi hukum. "Etika ini wajib dijunjung pejabat publik, harus ada sanksi hukum," terang Ikrar.
Kendati seorang anggota DPR memiliki hak impunitas, namun hal itu tak membuat setiap anggota DPR bisa mengeluarkan pernyataan seenaknya. "Impunitas bukan berarti mereka bisa mengeluarkan kata seenak-enaknya yang tak pantas," beber Ikrar.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ruhut Sitompul digugat secara perdata oleh Tim Advokasi Gugat Ruhut atau Tegur atas pernyataannya bahwa pihak yang menolak usulan pemberian gelar pahlawan kepada almarhum Soeharto adalah anak PKI (Partai Komunis Indonesia). Dalam gugatan tersebut, pihak penggugat, meminta PN Pusat mengabulkan tuntutan ganti rugi terhadap Ruhut, berupa materil dan imateril.
Gugatan materil tersebut berjumlah Rp 1.000, dan imateril sebesar Rp 62,811,899,999 miliar. Mereka juga meminta kepada Ruhut segera meminta maaf atas ucapannya melalui media masa nasional.
sumber : detik
0 komentar:
Posting Komentar