Dari manakah kekuatan positif dan negatif seorang berasal? Tidak lain dan tidak bukan, kekuatan itu berasal dari pikiran. Pikiranlah yang membuat perintah keseluruh organ tubuh unuk melakukan sesuatu. Pikiranlah yang mempengaruhi perasaan dan kekuatan manusia untuk takut dan berani dalam mengambil keputusan. Kunci utama dari kesuksesan manusia adalah cara dia mengelola pikirannya.
Kadang kala kita salah mempersepsikan Sesuatu karena kurangnya pemahaman dan sedikitnya pengetahuan, bahkan ketidak tahuan itu kita jadikan landasan untuk bertindak dan berbuat!
Dengan adanya tulisan ini saya berharap dapat sedikit memberikan sedikit pengetahuan dan pemahaman sehingga dapat meluruskan pemikiran kita bersama.
Etos Siri’ na Pacce
Di dalam sebuah syair sinrilik[1] ada sebuah semboyan kuno masyarakat Bugis-Makassar yang berbunyi “Takunjunga’ bangung turu’, nakugunciri’ gulingku, kualleangnga tallanga natoalia”. Syair tersebut berarti “layarku telah ku kembangkan, kemudiku telah ku pasang, ku pilih tenggelam daripada melangkah surut”. Semboyan tersebut menggambarkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang begitu tinggi dalam menghadapi kehidupan. Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai orang-orang yang suka merantau atau mendatangi daerah lain dan sukses di daerah tersebut.
Apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang pemberani dan tangguh? Atau apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai orang yang sukses di daerah sendiri dan daerah yang didatanganginya? Jawabanya adalah etos siri’ na pace. Para pemimpin yang berasal dari tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka.
Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Hasanuddin. Beliau adalah raja Gowa XVI. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah berani melawan penjajah Belanda. Walaupun pada akhirnya beliau harus menyerah melalui Perjanjian Bungaya yang sangat merugikan Kerajaan Gowa saat itu.
Adapula putra Bugis-Makassar yang bernama Syech Yusuf. Walaupun putra asli Bugis-Makassar, beliau lebih dikenal sebagai penyebar agama Islam di beberapa negara seperti Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan. Bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai “salah seorang putra Afrika terbaik”.
Di era modern dikenal Bacharuddin Jusuf Habibie. Beliau adalah presiden Republik Indonesia ke-3. Beliau merupakan satu-satunya presiden yang berasal dari luar pulau Jawa. Selain dikenal sebagai presiden RI ke-3, beliau juga dikenal sebagai ilmuwan yang sangat jenius. Beliau dikenal sebagai ilmuwan dibidang konstruksi pesawat terbang dan teorinya masih digunakan hingga saat ini.
Ada juga Muhammad Jusuf Kalla. Beliau adalah adalah wakil presiden Republik Indonesia ke-10. Beliau juga dikenal sebagai tokoh perdamaian konflik di Poso dan Aceh. Dengan gaya kepemimpinan khas orang Bugis-Makassar, beliau sukses dalam karir politik serta usaha. Beliau adalah pemilik perusahaan besar Hadji Kalla Group.
Kesemua contoh tokoh di atas merupakan orang-orang yang menerapkan betul etos siri’ na pace. Zainal Abidin Farid (1983:2) membagi siri’ kedalam dua jenis:
1. Siri’ nikapasiri’ yaitu apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kemanusian, maka ia harus menegakkansiri’-nya. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kehormatannya yang telah dihina.
2. Siri’ masiri’ yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan dengan segala jerih payah demi siri’ itu sendiri.
Kata yang selalu berdampingan dengan kata siri’ adalah kata pacce. Mohammad Laica Marzuki (1995) dalam disertasinya menyebutkan bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’[2]. Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau sesusahan individu lain dalam komunitas.
Penerapan Etos Siri’ na Pacce Saat Ini
Penetrasi besar-besaran budaya global melalui jalur globalisasi telah membawa banyak perubahan di seluruh penjuru dunia. Ditambah lagi dengan besarnya pengaruh kekuatan ekonomi (economic power) negara-negara maju. Hal ini menempatkan negara berkembang termasuk Indonesia pada posisi yang serba sulit untuk menghindarinya. Satu-satunya jalan adalah mengantisipasinya. Indonesia harus bisa meminimalisir efek negatif yang ditimbulkan dari globalisasi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan. Anak muda Indonesia yang notabene adalah pemimpin dan pemilik masa depan bangsa ini seharusnya memiliki siri’ na pacce dalam diri mereka. Karena, anak muda Indonesia yang sudah dijelaskan di awal, adalah anak muda yang sudah terlalu jauh dari akar budaya mereka. Mereka sudah terlalu dalam terkontaminasi oleh pengaruh negatif globalisasi. Dengan adanya siri’ na pacce, anak muda akan lebih peka merasakan segala macam persoalan yang sedang melanda Indonesia. Mereka juga akan malu melihat keadaan negaranya serta malu jika ia hanya berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa untuk bangsanya.
Pemimpin yang memiliki siri’ na pacce dalam dirinya, akan memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Pemimpin yang memegang teguh prinsip ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan sekitar. Mereka dapat mendengarkan aspirasi orang-orang yang mereka pimpin. Hal ini sangat sejalan dengan konsep negara kita yaitu negara demokrasi.
Meskipun etos siri’ na pacce berasal dari masyarakat Bugis-Makassar, namun etos ini sangat bisa diterima secara nasional. Karena di berbagai daerah Indonesia juga terdapat etos atau pandangan hidup yang hampir sama dengan konsep siri’ na pacce. Ada wirang yang hidup di masyarakat suku Jawa, carok pada masyarakat suku Madura, pantangpada masyarakat suku di Sumatera Barat, serta jenga pada masyarakat suku di pulau Bali. Kesemua pandangan hidup dari berbagai daerah tersebut memiliki kesamaan konsep dengan siri’ na pacce, yaitu malu jika keadaan suku atau bangsa mereka tidak lebih baik dari suku atau bangsa lain. Kesemua konsep pandangan hidup tersebut menanamkan nilai-nilai luhur tentang semangat serta keberanian tanpa melupakan rasa lembut hati sebagai penyeimbangnya.
Kesimpulan
“Limai pammanjenganna matena butta lompoa. Uru-uruna punna teya nipakainga karaeng ma’gauka; makaruwanna punna taena tumangngasseng ilalang pa’rasangang lompo; makatallunna punna mangngalle soso’ gallarrang mabbicarayya; makaappa’na punna majai gau’ ilalang pa’rasangang malompoa; makalimanna punna tanakamaseang atanna karaeng ma’gauka” (ada lima sebab sehingga sebuah negeri (kerajaan besar) rusak; Pertama, kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati; kedua, kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu Negara besar; ketiga, kalau para hakim dan pejabat-pejabat kerajaan makan sogok; keempat, kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara; kelima, kalau raja tidak menyayangi rakyatnya)[3]. Itulah pesan Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri Gowa sekaligus Raja Tallo (1639-1653). Pesan ini sarat akan nilai siri’ na pacce. Pesan tersebut telah terlihat nyata pada negara kita Indonesia.
Harapan kita sekarang adalah pemuda dengan pandangan hidup seperti siri’ na pacce (rasa malu dan rasa peduli sesama). Pemuda seperti ini merupakan pemimpin yang baik bagi dirinya sendiri maupun pemimpin bagi orang lain. Dengan begitu ada semangat dan keberanian dalam diri untuk terus berkarya dan bekerja bagi negara, serta tetap saling peduli dan menghargai heterogenitas budaya Indonesia.
[1] Sinrilik adalah karya sastra Makassar yang berbentuk prosa yang cara penyampaiannya dilagukan secara berirama baik dengan menggunakan alat musik maupun tanpa alat musik.
[2] Mohamad Laica Marzuki, Siri’ : Bagian Dari Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1995), hlm. 214.
[3] Suriadi Mappangara, Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, (Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2004), hlm. 137-138.
0 komentar:
Posting Komentar