Setelah melakukan sosialisasi kepada penegak hukum khususnya polisi, Business Software Alliance (BSA) melatih para Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berada di bawah naungan Direktorat Penyidikan, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) Kementrian Hukum dan HAM RI mengenai informasi pembajakan software. Program pelatihan pengembangan kapasitas bagi PPNS ini akan sangat berguna dalam meningkatkan efektifitas penegakan hukum.
"Pelatihan seputar aspek prosedural dan teknik penyidikan, materi pelanggaran hak cipta dan software secara umum, serta pengenalan lembaga IT yang selama ini bertindak sebagai ahli untuk mengidentifikasi pembajakan software," ujar Juru Bicara BSA Indonesia Donny A. Sheyoputra di sela-sela Pelatihan PPNS di ruang Singosari Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (27/6/2011) lalu.
PPNS di bawah naungan DJHKI akan melakukan razia di berbagai perusahaan mulai tahun ini dan fokus pertama adalah daerah Jawa Barat karena merupakan pusat industri. "Tahun lalu, yang terbukti melakukan pelanggaran adalah dari industri tekstil, industri makanan. Tahun ini kami coba explore lagi apakah pusat-pusat industri masih menggunakan software bajakan," tegasnya.
Apabila terbukti menggunakan software bajakan, maka perusahaan tersebut akan dihimbau untuk menggunakan software berlisensi. Apabila masih juga menggunakan software bajakan, maka PPNS dari DJHKI yang memeriksa akan melakukan tindakan hukum sesuai Undang-Undang yang berlaku.
Donny mengatakan, BSA percaya, mengurangi tingkat pembajakan software akan menarik minat investasi, membuka akses pasar baru bagi produk legal, memperkuat industri TI melalui peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang), memajukan pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja baru.
"Perusahaan seperti Microsoft itu melakukan riset yang tidak murah untuk menegembangkan sebuah software. Maka apabila terjadi pembajakan mereka tidak akan mendapatkan pemasukan. Padahal pendapatan dari lisensi itu bisa mereka gunakan untuk melakukan riset-riset selanjutnya," jelas Donny.
Tahun 2009 BSA menemukan pembajakan software dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang justru sudah matang, sudah memiliki nama dan perusahaan yang berasal dari Korea. Padahal di negara mereka, semuanya menggunakan software berlisensi. "Mengapa di Indonesia mereka menggunakan software bajakan? Bisa jadi karena penegakan hukum kita masih terlalu longgar," ungkap Donny.
Ia juga menambahkan, sanksi yang didapatkan dari perusahaan yang terbukti melakukan pembajakan software masih terlalu ringan. "Denda yang terlalu ringan membuat mereka berpikir untuk mengulangi kembali pembajakan software. Menurut saya sebaiknya dendanya besar, agar perusahaan berpikir lebih baik membayar software asli daripada membayar denda karena membajak software," jelas Donny.
Razia-razia yang dilakukan BSA bukan bermaksud untuk menutup atau menghancurkan usaha seseorang, namun justru untuk mengingatkan agar perusahaan melakukan persaingan yang sehat.
Menurut Donny, pembajakan software juga merugikan perusahaan kompetitor. "Dengan menggunakan software bajakan, biaya operasional dipangkas sehingga terjadi persaingan tidak sehat karena perusahaan kompetitornya menggunakan software berlisensi yang mahal," ungkap Donny. Oleh karena itu diharapkan semua perusahaan mau bersaing secara sehat dengan menggunakan software berlisensi.
Saat ditanya apakah pembajakan software terkait dengan harga software berlisensi yang mahal, Donny mengatakan hal tersebut hanya alasan yang dibuat-buat. "Software asli Indonesia bernama Mambu Media di Bali harganya hanya Rp 50 ribu tapi masih saja ada yang membuat bajakannya dan menjual dengan harga Rp 20 ribu. Jadi masalahnya bukan di harga saya rasa, tapi kesadaran," tambah Donny.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar